Konsep dan Unsur Kebudayaan

Masbabal.Com - Pada pertengahan kedua abad ke-19 Sir Edward Burnett Tylor (London, 2 Oktober 1832 – Wellington, 2 Januari 1917), Bapak Antropologi Budaya, Profesor Antropologi pada Universitas Oxford, Inggris, melakukan serangkaian studi tentang masyarakat-masyarakat “primitif”, yang meliputi perkembangan kebudayaan masyarakat manusia melampaui fase-fase transisi “from savage through barbaric to civilized life,” dari masyarakat liar, melewati kehidupan barbarik sampai pada kehidupan beradab.

Konsep dan Unsur Kebudayaan

Studi tentang kebudayaan masyarakat manusia ini disampaikannya dalam 2 (dua) jilid buku berjudul Primitive Culture setebal hampir 1000 halaman (Tylor, 1871), meliputi berbagai aspek kehidupan dan ketahanan hidup, kehidupan spiritual, kekuatan magik, sihir, astrologi, permainan anak-anak, peribahasa, sajak anak-anak, ketahanan adat, ritus pengorbanan, bahasa emosional dan imitatif, seni menghitung, berbagai macam dan ragam mitologi, hingga berbagai macam dan ragam animisme, ritus dan upacara.

Tylor (1871: 1) memanfaatkan studi ini antara lain sebagai landasan untuk menyusun konsep tentang kebudayaan, yang dirumuskannya secara singkat sebagai berikut.
Culture or Civilization... is that complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and many other capabilities and habits acquired by man as a member of society.
(Kebudayaan atau Peradaban... adalah satuan kompleks yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak kemampuan- kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat).

Baca Juga : Unsur-Unsur Kebudayaan

Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan moderen. Menyusun suatu hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan, dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah ilmu pengetahuan teoretik yang tak-dapat-diterapkan, karena persoalan ini mengangkat masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871: 443-44).

Lebih dari setengah abad kemudian, Ralph Linton (Philadelphia, Pennsylvania, 27 Februari 1893 – New Haven, Connecticut, 24 Desember 1953), Profesor Antropologi pada Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu masyarakat. Menurut Linton,
“A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular society” (Linton, 1945).
(Kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat).
Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam pengertian “sempit,” kebudayaan dipahami sebagai “kesenian,” sehingga seniman dianggap sebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya, misi kesenian yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan.

Pandangan dan praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan. Pengertian demikian tidak sepenuhnya keliru karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang penting. Sosiolog Inggris terkemuka, Anthony Giddens (1991) mengenai kebudayaan dalam hubungannya dengan masyarakat menerangkan sebagai berikut.
When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of „culture‟ as equivalent to the „higher things of the mind‟ - art, literature, music and painting… the concept includes such activities, but also far more. Culture refers to the whole way of life of the members of a society. It includes how they dress, their marriage customs and family life, their patterns of work, religious ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they create and which become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and machines, computers, books, dwellings (Giddens, 1991: 31-32)

(Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-hari, kita sering berpikir tentang „kebudayaan‟ sama dengan „karya-karya akal yang lebih tinggi' – seni, sastra, musik dan lukisan.... konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi juga jauh lebih banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan keseluruhan cara hidup anggota-anggota masyarakat. Kebudayaan meliputi bagaimana mereka berpakaian, adat kebiasaan perkawinan mereka dan kehidupan keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-upacara keagamaan dan pencarian kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang yang mereka ciptakan dan yang bermakna bagi mereka – busur dan anak panah, bajak, pabrik dan mesin, komputer, buku, tempat kediaman).

Referensi
Alexander, Paul. Ed. 1989. Creating Indonesian Cultures. Sydney: Oceania Publications.
Alfian. Ed. 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.
Benedict, Ruth. 1959. Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Company.
Birket-Smith, Kaj. 1965. The Paths of Culture. Madison and Milwaukee: The University of Wisconsin Press.
Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. New York: Oxford University Press.
Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI & PT Pamator